Sabtu, 22 Oktober 2011

Hukum Persaingan Usaha


Bab IV Perjanjian Yang Dilarang
  1. Definisi Perjanjian
Pengertian perjanjian menurut versi hukum persaingan terdapat dalam pasal 1 ayat 7 UU No.5 Tahun 1999 “perjanjian adalah suatu perbuatan dari satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun baik tertulis maupun tidak tertulis. Perjanjian dalam teori persaingan usaha adalah dua pelaku usaha atau lebih dalam konteks strategi pasar. Dengan demikian esensi perjanjian adalah saling bersepakatnya antar pesaing tentang tingkah laku pasar mereka, baik seluruhnya ataupun menyepakati tingkah laku bagian tertentu dari keseluruhan tingkah laku pasar. Akibatnya pesaing tidak lagi tampil secara terpisah dan tidak lagi mandiri di pasar.
Setiap perjanjian mensyaratkan paling sedikit dua pihak yang saling bersepakat tentang perilaku pasar. Penting ditegaskan, latar belakang kesepakatan tidak menjadi penting untuk diperhatikan. Sebab, perjanjian dalam persaingan usaha terkadang hanya didasarkan pada “feeling” ekonomi untuk menyamakan harga dan mengikuti pola pesaing lainnya. Sehingga, tak jarang perjanjian juga dapat terjalin tanpa memerhatikan apakah pihak yang menjalin perjanjian melakukannya dengan suka rela atau tidak. Inilah yang membedakan perjanjian dalam pengertian KUHPerdata dengan perjanjian dalam hukum monopoli.
Hal yang terpenting dari suatu perjanjian dalam anti monopoli adalah ikatan, kapan ikatan itu mengikat secara hukum, akan dibagi menjadi dua hal, yaitu :
  1. Ikatan Hukum
Suatu pihak terikat dengan hukum jika perjanjian tersebut mengakibatkan kewajiban hukum. Dan akan ada kewajiban pembayaran ganti rugi ketika dalam perjanjian tersebut salah satu pihak melanggar suatu ketentuan perjanjian. Ikatan hukum berarti bahwa suatu kewajiban tertentu dilindungi hukum jika tidak melanggar UU No.5 Tahun 1999
  1. Ikatan Ekonomi
Ikatan ekonomi ini lahir karena suatu perjanjian ditaati bukan karena persyaratan hukum tetapi dalam rangka mencegah kerugian ekonomi, contohnya adalah menetapkan harga dibawah harga pasar. Pihak yang ikut dalam perjanjian ini dan mengikuti strategi adalah pihak yang beruntung, jika menyimpang pada strategi yang disepakati ini maka akan mengalami kerugian.
Jika tidak ada suatu perjanjian yang tegas baik tertulis maupun lisan, maka pihak harus saling memahami dengan melihat pasar sehingga dalam perjanjian hukum persaingan usaha ada yang disebut dengan “express agreement”(perjanjian yang tegas dan nyata) contohnya jika terdapat pengakuan telah terjadi kesepakatan antar pelaku usaha baik secara tertulis maupun tidak. Dan “tacit agreement” (perjanjian secara diam-diam) contohnya disini adalah jika pelaku usaha membuat pelaku usaha lain ikut dengan caranya, sehingga seolah-olah terjadi perjanjian.
  1. Perjanjian yang bersifat Oligopoli
Oligopoli adalah monopoli yang dilakukan oleh beberapa pelaku usaha dimana hanya ada beberapa perusahaan menjual produk yang sama. UU No.5 Tahun 1999 melarang perjanjian oligopoli “pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha yang lainnya untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan/atau pemasaran barang/jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.” Selanjutnya dalam pasal 4 ayat 2 disebutkan “praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat patut diduga telah terjadi jika dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75 % pangsa pasar dari satu jenis barang atau jasa”
Jadi pasar bentuk ini ditandai dengan adanya beberapa penjual yang ada dipasar dengan pembeli yang relatif banyak. Perjanjian oligopoli ini bersifat horizontal, biasanya tidak dalam perjanjian yang bersifat tertulis maupun lisan tetapi ditentukan oleh saling keterkaitan reaksi tanpa perjanjian dan perilaku yang saling disesuaikan. Adapun kata “untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan/atau pemasaran barang/jasa” tidak berarti harus ada perjanjian tersebut  antar pelaku usaha, melainkan pelaku usaha tersebut dianggap telah menguasai pasar walaupun masing-masing pelaku usaha tidak memenuhi persyaratan posisi dominan. Sedangkan dalam memahami kalimat “dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat” tidak hanya memperhatikan hambatan persaingan yang sedang terjadi namun juga harus memerhatikan potensi hambatan yang mungkin terjadi. Larangan perjanjian oligopoli ini menegaskan bahwa perjanjian yang menghambat persaingan usaha tetap dikenakan larangan monopoli meskipun dilakukan oleh beberapa pelaku usaha.
Pasal 4 ayat 1 menunjukkan Oligopolis luas dalam arti pelaku usaha dalam pasar oligopolis sebenarnya dapat lebih banyak, namun semakin banyak jumlah pelaku usaha pada pasar tersebut, maka akan semakin kecil saling keterkaitan rekasi pelaku usaha bersangkutan dalam oligopoli, artinya proses persaingan usaha semakin berfungsi dan berjalan baik. Sedangkan dalam pasal 2 menunjukkan oligopoli dalam arti sempit yang hanya melibatkan sejumlah kecil pesaing yang mempunyai posisi kuat di pasar pada dua atau tiga pelaku usaha. Dalam pasar oligopoli di pasar persaingan sempurna, masing-masing pedagang mempunyai kekuatan untuk menentukan pasar. Pedagang dalam pasar ini saling bersaing atau dapat melakukan kolusi untuk memberikan yang terbaik bagi konsumennya dengan tingkat harga tertentu.
Namun jika tidak ada persaingan, dan pedagang berkolusi membuat perjanjian untuk menguasai pasar baik dengan perjanjian tertulis maupun tidak, inilah yang disebut dengan pasar yang oligopolistik. Biasanya para pelaku usaha saling bergantung satu sama yang lain dan mengikuti pelaku usaha yang menjadi leadernya.
Beberapa karakter pasar oligopoli,yaitu :
  1. Barang yang diperdagangkan biasanya adalah barang yang homogen
  2. Struktur pasar biasanya ditandai dengan kekuatan pelaku usaha yang kurang lebih sebanding. Namun tidak tertutup kemungkinan pada pasar yang heterogen pun terjadi oligopoli.
  3. Hanya sedikit perusahaan industri
  4. Pengambilan keputusan yang saling mempengaruhi
  5. Kompetisi non harga

  1. Perjanjian Penetapan Harga (Price Fixing Agreement)
Perjanjian penetapan harga dilarang didalam UU No.5 Tahun 1999 yang terbagi atas, yaitu :


  1. Perjanjian Penetapan Harga
UU No.5 Tahun 1999 melarang perjanjian antar produsen,di mana produsen menetapkan harga yang harus dibayar pembeli untuk barang dan/jasa yang diperdagangkan di pasar bersangkutan yang sama dari segi faktual dan geografis. Perjanjian penetapan harga akan menjadikan harga merupakan tindakan yang mencederai persaingan. Tindakan ini akan merugikan konsumen dalam bentuk harga yang lebih tinggi dan jumlah barang yang lebih sedikit tersedia.
Pasal 1 ayat 1 berbunyi :
“ pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang/jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan.”
            Perjanjian penetapan harga dilarang karena penetapan harga bersama-sama akan menyebabkan tidak dapat berlakunya hukum pasar tentang harga yang terbentuk dari adanya tawaran dan permintaan.
Perjanjian penetapan harga dikecualikan dalam tiga hal :
  1. Perjanjian harga yang diizinkan, seperti penentuan harga yang dilakukan oleh pemerintah.
  2. Perjanjian harga yang dibuat dalam joint venture atau penggabungan usaha tertentu.
  3. Perjanjian harga langsung.
  1. Perjanjian Diskrimasi Harga
Perjanjian diskrimasi harga diatur pada pasal 6 UU No.5 Tahun 1999,berbunyi :
“pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan jasa yang sama.”
            Hal yang dilarang pada pasal ini adalah  membuat perjanjian yang memberlakuan diskrimasi terhadap kedudukan konsumen lainnya, dengan cara memberikan harga yang berbeda-beda terhadap barang atau jasa yang sama. Namun demikian, dapat saja terjadi harga yang berbeda antara konsumen yang satu dengan yang lain disebabkan perbedaan biaya seperti promosi dan lain-lain. Tidak semua pemberi harga yang berbeda dilarang oleh hukum anti monopoli sebab jika cost dikeluarkan oleh penjual untuk satu konsumen dengan konsumen lainnya berbeda, maka harga secara logis tentu akan berbeda-beda pula. Misalnya barang yang diambil dari tempat yang jauh akan memakan banyak biaya sehingga harga barang tersebut naik.
  1. Jual Rugi
Penetapan harga dibawah harga pasar dengan pelaku usaha lain disebut juga penetapan harga dibawah harga marginal. Larangan ini dicakup oleh pasal 7 dari UU anti monopoli “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”Jual rugi atau Predatory pricing dari segi ekonomi adalah menetapkan harga yang tidak wajar, yaitu lebih rendah daripada biaya variabel rata-rata. Penentuan biaya variabel rata-rata sangat sulit dilakukan dalam dunia nyata. Oleh sebab itu, kebanyakan praktisi akan mengatakan bahwa predatory princing adalah tindakan menentukan harga di bawah biaya rata-rata atau tindakan jual rugi.
Salah satu tindakan agar pelaku usaha lainnya tidak dapat masuk ke pasar adalah membuat kapasitas produksi yang dapat dilakukan sebelum pelaku usaha lain masuk. Tindakan pertama dilakukan pada saat pendirian usaha adalah pada saat itu skala produksi ditentukan jauh lebih besar, jadi ketika ada pesaing usaha lain ingin masuk, pelaku usaha itu dapat membajiri pasar dengan produknya. Cara kedua biasanya dilakukan pada bidang yang membutuhkan masa kontruksi panjang. Penambahan kapasitas ini biasanya hanya untuk menakut-nakuti pesaing tanpa perlu dilakukan dengan sungguh-sungguh.
  1. Penetapan Harga Jual Kembali
Penetapan harga jual kembali dilarang oleh pasal 8 UU No.5 Tahun 1999 “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”
Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha lainnya bahwa pihak pembeli barang atau jasa tersebut tidak akan menjual atau memasok barang atau jasa tersebut di bawah harga yang telah ditetapkan bersama. Prinsipnya, pembeli bebas untuk menetapkan harga barang atau jasa yang sudah dibelinya sesuai dengan permintaan dan penawaran yang ada dipasar. Ada dua macam penetapan harga kembali, yaitu :
  1. Penetapan Harga Secara Maksimum
Strategi penetapan harga ini biasanya diterapkan oleh produsen kepada distributor produk bersangkutan, yang bertujuan untuk mengontrol distributor untuk tidak menjual di atas harga maksimum yang ditawarkan. Yang diinginkan dari perjanjian ini adalah hasil yang diharapkan, melalui strategi ini adalah terkendalinya harga yang bersaing, sampai pada tingkat penjualan eceran.
  1. Penetapan Harga Secara Minimum
Penetapan harga minimum ini sering disebut juga dengan floor price artinya kesepakatan antarpelaku usaha di mana pembeli akan menjual kembali barang yang dibelinya pada harga yang tidak boleh di bawah harga yang telah ditentukan. Strategi ini bertujuan untuk mempertahankan nama baik produsen atau merek tertentu dan untuk mencegah terjadinya persaingan tidak sehat pada level distributor.
  1. Perjanjian Pembagian Wilayah Pemasaran atau Alokasi Pasar
Latar belakang larangan pembagian wilayah pemasaran adalah upaya untuk menghindari terjadinya kasus-kasus kartel secara khusus di daerah tertentu. Dengan adanya pembagian wilayah akan menghilangkan kemungkinan bagi pasar lain untuk memilih jasa yang ditawarkan di pasar tersebut. Pembagian wilayah bertujuan menghindari terjadinya persaingan usaha di antara pelaku usaha yang saling bersaing sehingga pelaku usaha menaikan dan mendapatkan keuntungan besar.
Larangan pembagian wilayah pemasaran diatur dalam pasal 9 UU No.5 Tahun 1999 “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.”
Pembagian wilayah pemasaran adalah untuk menghindari atau mengurangi persaingan yang biasa diambil oleh pelaku usaha bersaing dalam satu bidang usaha sehingga suatu pasar dapat dikuasai secara eksklusif oleh masing-masing pelaku usaha.
Pembagian wilayah pemasaran atau alokasi pasar adalah :
  1. Membagi wilayah untuk memperoleh atau memasok barang dan/atau jasa
  2. Menetapkan dari siapa saja dapat memperoleh atau memasok barang dan/atau jasa.
Dalam hukum anti monopoli dikenal berbagai macam pembagian pasar, yaitu
  1. Pembagian pasar teritorial
  2. Pembagian pasar konsumen
  3. Pembagian pasar fungsional
  4. Pembagian pasar produk
Perjanjian yang dilakukan bertujuan membagi pasar dari segi daerah atau dari segi produk. Para pelaku usaha yang melakukan usaha pada pasar bersangkutan berjanji untuk tidak memasok barang atau jasa yang sama diwilayah geografis tertentu yang telah dialokasikan kepada mitranya di dalam pasar bersangkutan yang sama.
  1. Perjanjian Pemboikotan
Boikot adalah tindakan mengorganisasi suatu kelompok untuk menolak hubungan usaha dengan pihak tertentu atau tidak berhubungan dengan pesaing-pesaing yang lain seperti kepada supplier atau konsumen-konsumen tertentu. Dengan kata lain boikot adalah suatu tindakan bersama yang dilakukan oleh sekelompok pengecer yang menolak membeli produk pelaku usaha tertentu karena alasan yang tidak mereka sukai.
Pasal 10 UU No.5 Tahun 1999
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
(2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut:
a. merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain; atau
b. membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau jasa
dari pasar bersangkutan.
Sehubungan dengan perjanjian pemboikotan tersebut, ada dua macam perjanjian yang dilarang oleh pasal 10, yaitu :
  1. Perjanjian yang dapat menghalangi pelaku usaha lain (pihak ketiga) untuk melakukan usaha yang sama
  2. Perjanjian untuk menolak menjual setiap barang dan/jasa dari pelaku usaha lain (pihak ketiga)
  1. Perjanjian Kartel
Perjanjian kartel merupakan salah satu perjanjian yang kerap kali terjadi dalam tindak monopoli. Kartel adalah perjanjian satu pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menghilangkan persaingan di antara keduanya. Dengan kata lain kartel adalah kerja sama dari produsen-produsen produk tertentu yang bertujuan untuk mengawasi produksi, penjualan, dan harga serta untuk melakukan monopoli terhadap komoditas atau industri tertentu.
Pasal 11 UU No.5 Tahun 1999 “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.”
Pasal 11 UU No.5 Tahun 1999 melarang perjanjian antara pesaing-pesaing untuk memengaruhi harga dengan mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa. Larangan ini hanya berlaku apabila perjanjian kartel tersebut dapat mengakibatkan terjadinya monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Kata-kata “mengatur produksi dan/atau pemasaran” yang bertujuan memengaruhi harga adalah menunjukkan upaya untuk meniadakan kesempatan pihak lawan dalam pasar untuk memilih secara bebas di antara penawaran kartel. Adapun unsur yang terdapat dalam pasal 11 adalah para pihak harus pelaku usaha, saling bersaing, dan membuat perjanjian.
Kesepakatan-kesepakatan di dalam kartel sulit dicapai ketika industri peserta kartel memerlukan biaya produksi yang berbeda-beda. Dalam hal ini, harga yang disepakati haruslah dapat mencukupi biaya produksi peserta yang paling tidak efisiensi.
  1. Perjanjian Trust
Pasal 12 UU No.5 Tahun 1999 “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa,sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.”
Pengawasan join venture dalam UU No.5 Tahun 1999 dibagi dua tahap,pertama perusahaan gabungan (joint venture) yang diawasi oleh pasal 12, yakni suatu kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan/atau pemasaran atas barang dan/atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya prakik monopoli atau persaingan tidak sehat. Kedua,pengawasan penggabungan perusahaan juga dapat dilaksanakan menurut ketentuan pasal 28 & 29.
Unsur-unsur dalam pasal 12 adalah pelaku usaha,perjanjian,gabungan perusahaan. Gabungan perusahaan dalam UU dijelaskan secara umum dengan istilah hukum joint venture dengan suatu badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian.
  1. Perjanjian Oligopsoni
Pengaturan larangan perjanjian oligopsoni diatur pada pasal 13 UU No.5 Tahun 1999
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk
secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian atau
penerimaan pasokan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Dalam hal pasar oligopoli hanya ada beberapa perusahaan saja yang menjadi penjual terhadap produk tertentu dengan pembeli yang relatif banyak, maka sebaliknya dalam pasar oligopsoni, di pasar hanya ada beberapa pembeli yang membeli produk tertentu, dengan penjual yang relafif banyak. Apabila suatu pasar berstruktur oligopoli, maka hal ini dapat terjadi tidak hanya dipihak pemasok, melainkan juga di pihak pembeli. Jika pasar oligopoli terjadi, maka dapat menimbulkan terjadinya perjanjian kartel yang menghambat persaingan serta penyalahgunaan oleh pihak pembeli,misalkan pada proyek-proyek berskala besar yang hanya dapat ditangani oleh pelaku usaha tertentu yang merupakan ciri khas dari oligopoli.
Ciri khas di pasar permintaan oligopoli adalah identik diantara anggota kelompok sehingga menghalangi pemasok, produsen atau pemasok jasa untuk menghindar ke anggota kelompok lainnya;tuntutan diberi potongan harga yang tidak beralasan;kombinasi oligopsoni dengan kartel tidak diberikan kesempatan kepada pemasok tertentu, pengutamaan pemasok tertentu yang tidak beralasan, pembatasan akses yang tidak beralasan.

  1. Perjanjian Integrasi Vertikal
Integrasi vertikal adalah bagian dari hambatan vertikal (vertical restraint). Hambatan vertikal adalah segala praktik yang bertujuan untuk mencapai suatu kondisi yang membatasi persaingan dalam dimensi vertikal atau dalam perbedaan jenjang produksi (stage of production) atau dalam usaha yang memiliki keterkaitan sebagai rangkaian usaha. Kebanyakan praktik hambatan vertikal didasarkan atau mengikuti suatu kesepakatan diantara pelaku usaha pada jenjang produksi yang berbeda namun masih dalam satu rangkaian yang terkait. Misalnya antara produsen dan distributor atau penjual produknya. Integrasi Vertikal di atur dalam pasal 14 UU No.5 Tahun 1999 “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumiah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahanl atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat.”
  1. Perjanjian tertutup
Perjanjian tertutup adalah perjanjian yang mengondisikan bahwa pemasok dari suatu produk akan menjual produknya hanya jika pembeli tidak akan membeli produk pesaingnya atau untuk memastikan bahwa seluruh produk tidak akan tersalut kepada pihak lain. Seorang pembeli (biasanya distributor) melalui perjanjian tertutup mengkondisikan bahwa penjual atau pemasok produk tidak akan dijual atau memasok setiap produknya kepada pihak tertentu atau pada tempat tertentu.
Pasal 15 UU No.5 Tahun 1999 :
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
(2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.
(3) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu
atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok:
a. harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usalia pemasok; atau
b. tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari peliku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.
Pasal 15 UU No.5 Tahun 1999 ayat 1 dan 2 melarang setiap kesepakatan eksklusif (kontrak penjualan, atau kewajiban memasok eksklusif) dan juga melarang kesepakatan penjualan mengikat eksklusif.
  1. Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri
Larangan perjanjian  dengan luar negeri diatur oleh Pasal 16 UU No.5 Tahun 1999 “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Dengan adanya pasal ini berarti terdapat ketentuan khusus untuk melakukan perjanjian dengan pelaku usaha lain. Adapun penggunaan pasal ini adalah pada kasus di mana suatu perusahaan asing tidak aktif di Pasar Indonesia, tetapi berpengaruh dengan pasar indonesia melalui perjanjian.
Bab V “Kegiatan Yang Dilarang”
  1. Kegiatan Monopoli
Monopolisasi adalah upaya perusahaan atau kelompok perusahaan yang relatif besar dan memiliki posisi dominan untuk mengatur atau meningkatkan kontrol terhadap pasar dengan cara berbagai praktik anti kompetitif seperti penetapan harga yang mematikan (predatory pricing), pre-emptive of facilities, dan persaingan yang tertutup. Dalam UU pengertian monopoli adalah suatu penguasaan atas produksi dan/atau jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Dengan demikian yang dimaksud dengan pasar monopoli adalah dimana hanya terdapat satu penjual, sehingga penjual tersebut bisa menentukan sendiri berapa jumlah barang atau jasa yang akan dijual, atau berapa jumlah barang yang akan dijual tergantung kepada keuntungan yang ingin diraih sehingga penjual akan menerapkan harga yang akan memberikan keuntungan tertinggi.
Pasal 17 UU No.5 Tahun 1999 secara lengkap berbunyi sebagai berikut :
(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:
a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau
b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau
c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Unsur-unsur yang terdapat dalam monopoli, yaitu :
  1. Perusahaan melakukan penguasaan atas produksi suatu produk atau melakukan penguasaan atas pemasaran suatu produk
  2. Penguasaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli
  3. Penguasaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek persaingan usaha tidak sehat.
Dalam faktanya, dalam pasar monopoli terjadinya perusahaan tidak memiliki pesaing karena kemampuannya yang tidak mampu disaingi oleh perusahaan lainnya, inilah yang disebut dengan monopoli secara alamiah ataupun perusahaan tersebut mendapatkan perlakuan khusus karena amanah undang-undang.
  1. Monopoli Alamiah terjadi jika economic of scale sangat mempersulit atau tidak memungkinkan sama sekali pelaku usaha lain masuk ke pasar. Pelaku usaha menjadi “monopoli” disebabkan kelebihan yang dimilikinya secara alami.
  2. Monopoli karena perlindungan Undang-undang, yakni perusahaan-perusahaan diberikan hak monopoli berdasarkan amanah undang-undang, sekalipun perusahaan tersebut tidak efisien. Monopoly by law biasanya menguntungkan negara dan industri yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak seperti tenaga listrik, air,gas, jalan, rel kereta api, pelabuhan udara, pelabuhan laut, dan sebagainya. Selain itu undang-undang juga memberikan hak istimewa dan perlindungan hukum dalam jangka waktu terhadap pelaku usaha yang memenuhi syarat tertentu atas hasil riset dan inovasi yang dilakukan sebagai hasil pengembangan teknologi yang bermanfaat bagi umat manusia.
  1. Kegiatan Monopsoni
Dalam hal monopsoni hanya ada seorang atau satu kelompok usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar unuk membeli suatu produk. Dengan kata lain, monopoli adalah sebuah pasar dimana hanya terdapat seorang pembeli tunggal. Dalam pasar monopsoni biasanya harga barang atau jasa akan lebih rendah dari harga besar yang kompetitif. Pada kondisi inilah potensi kerugian masyarakat akan timbul karena pembeli harus membayar dengan harga yang mahal dan juga terdapat potensi  pasar yang tidak sehat.
Kegiatan Monopsoni dilarang dalam pasal 18 UU No.5 Tahun 1999 yang berbunyi :
(1) Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas
barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (Iima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
 Pendekatan hukum persaingan usaha di Indonesia dalam kegiatan monopsoni ini dapat terjadi melalui cara presumsi monopsoni, yakni telah menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal jika terpenuhi dua syarat yakni :
  1. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha
  2. Telah menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis produk tertentu.
  1. Penguasaan Pangsa Pasar
Menjadi seorang penguasaan pasar adalah keinginan semua pelaku usaha, karena penguasaan pasar akan memiliki korelasi positif dengan tingkat keuntungan yang mungkin bisa diperoleh oleh pelaku usaha. Untuk mendapatkannya, tidak jarang pelaku usaha melakukan tindakan yang unfair dan bertentangan dengan hukum. Pasal ini memang tidak merumuskan berapa besar penguasaan pasar atau berapa besar pangsa pasar satu pelaku usaha, namun satu pelaku usaha yang melakukan penguasaan pasar akan mempunyai posisi dominan di pasar. Kegiatan penguasaan pasar yang dilarang adalah ketika penolakan atau menghalangi-halangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama.
  1. Jual Rugi
Pasal 20 UU No.5 Tahun 1999 “Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual beli atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.”
Secara sederhana, menjual rugi dapat digambarkan ketika perusahaan yang memiliki posisi dominan atau kemampuan keuangan yang kuat (deep pocket) menjual produknya di bawah harga produksi dengan tujuan untuk memaksa pesaingnya keluar dari pasar. Dalam jangka pendek, jual rugi sangat menguntungkan konsumen, namun setelah menyingkir pesaing dari pasar dan menghambat calon pesaing baru, pelaku usaha dominan atau pelaku usaha incumbent tersebut mengharap dapat menaikkan harga secara signifikan. Meskipun penetapan harga rendah dapat keuntungan tersebut hanya untuk beberapa waktu saja, karena setelah jangka waktu tertentu, dimana sejumlah pelaku usaha pesaing tersingkir dari pasar konsumen justru akan dirugikan setelah pelaku usaha menetapkan harga yang sangat tinggi yang mengarah atau dapat merupakan harga monopoli.
  1. Persekongkolan atau Konspirasi Usaha
Persekongkolan adalah bentuk kerja sama dagang di antara pelaku usaha dengan maksud untuk menguasai pasar yang bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol tersebut. Persekongkolan ini disebut konspirasi (conspirasy). Persekongkolan sering disama artikan dengan kolusi, dalam politik biasa disebut konspirasi. Terjadinya persekongkolan akan menghilangkan persaingan antarpelaku usaha, dalam sistem ekonomi pasar mengandalkan pada proses persaingan, membuat para produser harus bertindak secara efisien dan inovatif. Untuk menentukan terjadinya kolusi, maka unsur yang terpenting yang diketahui adalah terjadinya konsensus dari pelaku usaha tentang sebuah perjanjian, baik secara tertulis ataupun tidak.
Unsur-unsur pelaku terdiri dari dua atau lebih pengusaha. Dalam pasal 22 tersebut ditegaskan bahwa persekongkolan tender dapat terjadi tidak hanya antarpelaku usaha, tetapi juga pihak lain. Artinya dalam tender pihak yang terlibat adalah pemilik pekerjaan atau penawar tender dan peserta tender. Namun pengertian pihak lain dalam hal ini untuk mengantisipasi celah hukum bahwa persekongkolan tender dapat terjadi antara pelaku usaha (korporasi), tetapi juga antarpelaku usaha dengan individu. Sedangkan unsur bersekongkol antara lain :
  1. Kerja sama antara dua pihak atau lebih
  2. Secara terang-terangan atau diam-diam melakukan tindakan penyesuaian dokumen dengan peserta lainnya
  3. Membandingkan dokumen tender sebelum penyerahan
  4. Menciptakan persaingan semu (sham competition)
  5. Menyetujui atau memfatilisasi terjadinya persekongkolan
  6. Tidak menolak melakukan suatu tindakan meskipun mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk mengatur dalam rangka memenangkan peserta tender tersebut.
Unsur pihak lain adalah “para pihak (vertical dan horizontal) yang terlibat dalam proses tender baik pelaku usaha sebagai peserta tender atau subjek hukum lainnya yang terkait dengan tender tersebut. Mengatur dan/atau menentukan pemenang tender adalah suatu perbuatan para pihak yang terlibat dalam proses tender secara bersekongkol yang bertujuan untuk menyingkirkan pelaku usaha lain sebagai pesaingnya dan/atau untuk memenangkan peserta tender tertentu dengan berbagai cara. Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antarpelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Jenis-jenis Pesekongkolan :
  1. Persekongkolan horizontal merupakan persekongkolan yang terjadi antarpelaku usaha atau penyedia barang dan jasa dengan sesama pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa pesaingnya.
  2. Persekongkolan vertikal yang terjadi di antara salah satu atau beberapa pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa dengan panitia tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan jasa atau pemilik atau pemberi pekerjaan.
  3. Persekongkolan horizontal dan vertikal merupakan persekongkolan antara panitia tender atau pengguna barang dan jasa atau pemilik atau pemberi pekerjaan dengan pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa. Persekongkolan ini dapat melibatkan dua atau tiga pihak yang terkait dalam proses tender.
Bab IV “Penyalahgunaan Posisi Dominan (Abuse of dominant position)
Pasal 25 UU No.5 Tahun 1999 berbunyi :
(1) Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak
langsung untuk :
a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; atau
b. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau
c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.
(2) Pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila:
a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; atau
b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Undang-undang melarang pihak-pihak tertentu yang memiliki posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk :
  1. Menetapkan syarat-syarat perdagangan tertentu yang bertujuan mencegah atau menghalangi konsumen memperoleh barang atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas
  2. Membatasi pasar dan membatasi perkembangan teknologi, atas produk yang dihasilkan.
  3. Menghambat pelaku usaha lain, yang berpotensi menjadi pesaing,untuk memasuki pasar yang bersangkutan.
Ukuran yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya posisi dominan dari sisi penentuan harga adalah kekuatan dalam menentukan harga. Dalam ilmu ekonomi, kekuatan ini dinamakan “kekuatan monopoli” (monopoly power) . Kekuatan monopoli dihitung dari berapa jauh selisih harga jika dibandingkan dengan biaya marjinalnya .
Pelaku usaha memiliki posisi dominan
  1. Satu pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha menguasai 50% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu atau
  2. Dua atau tiga pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha menguasai 75% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu
Penyebab posisi dominan yaitu adanya barrier to entry dan proses integrasi vertical suatu usaha bisnis dapat menjadi raksasa lahir dari penguasaan ke atas, yaitu penguasaan terhadap bahan baku, dan penguasaan kebawah, yaitu penguasaan jalur distribusi,
A.    Rangkap Jabatan
                  Seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi ata komisaris pada perusahaan lain, apabila perusahaan-perusahaan tersebut.
  1. Berada dalam pasar bersangkutan yang sama, atau
  2. Memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan/atau jenis usaha. Tolak ukur yang diberikan undang-undanguntuk menentukan apakah perusahaan-perusahaan memliki keterkaitan yang erat apabila perusahaan-perusahaan tersebut saling mendukung atau berhubungan langsung dalam proses produksi, pemasaran, atau produksi dan pemasaran; atau
  3. Secara bersama-sama dapat menguasai pangsa pasar barang dan/atau jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat
Secara lebih detail, posisi dominan jabatan rangkap telah dijelaskan dalam draf pedoman pelaksanaan Pasal 26 tentang Jabatan Rangkap UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.      
B.     Kepemilikan Saham Mayoritas
UU No.5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha tertentu untuk memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar yang sama atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar yang sama, jika pemilikan tersebut mengakibatkan :
  1. Satu pelaku usaha atau kelompok usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
  2. Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Pada hakikatnya pasal 27 melarang pelaku usaha mengendalikan beberapa perusahaan yang bersaing dalam sebuah pasar. Pengendalian tersebut dapat dilakukan melalui pemilikan saham secara mayoritas di kedua perusahaan. Apabila hal ini terjadi,maka secara de jure di anggap telah terjadi pengendalian. Pengendalian dua perusahaan yang dapat dilakukan melalui kepemilikan saham signifikan di dua perusahaan,akan terjadi secara de facto mampu mengendalikan keputusan manajemen perusahaan.
Untuk menentukan pelanggaran pasal 27 UU No.5 Tahun 1999 terdapat dua perspektif, yakni perspektif minimalis dan maksimalis. Menurut minimalis telah terjadi pelanggaran terhadap pasal 27 apabila berdasarkan bukti yang cukup terpenuhi sekurang-kurangnya dua unsure penting, yaitu adanya pelaku usaha yang mengendalikan atau mendirikan beberapa perusahaan dalam satu pasar bersangkutan, dan adanya pengendalian atau pendirian tersebut menghasilkan penguasaan pasar bagi pelaku usaha tersebut melebihi dari 50%.Sedangkan perspektif maksimalis berpendapat bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap pasal 27 apabila selain terpenuhi dua unsure dalam perspektif minimalis juga terpenuhi unsure lainnya, yaitu adanya praktik usaha (conduct) yang menimbulkan dampak negative terhadap persaingan.
C.    Merger, Akuisi, dan Konsolidasi
Tindakan penggabungan, peleburan dan/atau pengambilalihan disadari atau tidak, akan memengaruhi persaingan antarpelaku usaha di dalam pasar bersangkutan dan membawa dampak kepada konsumen dan masyarakat. Karena itu, sesuai dengan amanat pasal 28 dan 29 UU No.5 Tahun 1999, komisi akan melakukan pengendalian terhadap penggabungan, peleburan atau pengambilalihan khususnya yang mengakibatkan berkurangnya tingkat persaingan di pasar bersangkutan dan dapat menimbulkan kerugian masyarakat.
Untuk bertahan dalam kompetisi sekaligus mengembangkan usaha, maka para pelaku usaha harus melakukan berbagai cara. Saalah satu alternative yang dapat dilakukan oleh pelaku usaha adalah dengan melakukan ekspansi usaha. Strategi usaha ini dilakukan untuk menjaga agar usaha seorang pelaku usaha tidak semakin terpuruk di tengah persaingan usaha yang ada, maka akan bergabung dan tumbuh menuju perkembangan yang lebih baik lagi. Strategi pengembangan secara teoritis terbagi atas tiga, yaitu peleburan usaha atau disebut  merger, pengambilalihan usaha atau akuidisi dan peleburan usaha atau konsolidasi.
  1. Merger
Dalam arti luas merger berarti setiap bentuk pengambilalihan suatu perusahaan oleh perusahaan lainnya, pada saat kegiatan usaha perusahaan tersebut disatukan. Adapun pengertian secara sempit merujuk pada perusahaan dengan ekuitas yang hamper sama menggabungkan sumber daya yang ada pada keduanya menjadi satu usaha. Akuisisi adalah pengambilalihan kepemilikan dan control manajemen oleh satu perusahaan terhadap perusahaan lain. Karenanya, control adalah kata kunci yang membedakan merger dengan akuisisi.
Jadi merger adalah bergabungnya satu perusahaan atau lebih dengan perusahaan yang telah ada sebelumnya menjadi satu perusahaan.perusahaan yang menerima merger disebut surviving firm atau pihak yang mengeluarkan saham (issuing firm). Perusahaan yang bubar setelah merger disebut mergered firm. Perusahaan hasil merger diharapkan akan memiliki ukuran yang lebih besar.
Merger secara sederhana adalah tindakan pelaku usaha yang mengakibatkan :
  1. Terciptanya konsentrasi kendali dari beberapa pelaku usaha yang sebelumnya independen kepada satu pelaku usaha atau satu pelaku usaha.
  2. Atau beralihnya suatu kendali dari satu pelaku usaha kepada pelaku usaha lainnya yang sebelumnya masing-masing independen sehingga menciptakan konsentrasi pengendalian atau konsentrasi pasar.
  1. Akuisisi
Akuisisi adalah bentuk objek pengambilalihan kepemilikan perusahaan oleh pihak pengakuisisi sehingga dapat mengakibatkan berpindahnya kendali atas perusahaan yang diambil alih tersebut. Akuisisi dimaksudkan perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orangperorangan untuk mengambil alih saham perseroan tersebut, atau perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih baik seluruh atau sebagian besar saham perseroan yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap perseroan tersebut.
Dalam konteks hukum persaingan usaha pengertia akuisisi atau pengambilaihan adaah perbuatan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk memperoleh atau mendapatkan baik seluruh atau sebagian saham atau asset perseroan/badan usaha yang dapat mengakibatkan bealihnya pengendalian terhadap perseroan/badan usaha tersebut.

  1. Konsolidasi
Konsolidasi atau peleburan merupakan bentuk khusus merger dimana dua perusahaan atau lebih secara bersama-sama meleburkan diri dan membentuk satu perusahaan baru. Menurut peraturan pemerintah RI No.27 Tahun 1998, konsolidasi atau peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua perseroan atau Lebih untuk meleburkan diri dengan cara membentuk satu perseroan baru dan masing-masing perseroan yang meleburkan diri menjadi bubar.
Sebagai tambahan, ketiga jenis strategi ekspansi usaha diatas adalah termasuk jenis pengambilalihan atau disebut juga takeover. Takeover adalah istilah umum untuk menggambarkan pengambilalihan aset atau saham sebuah perusahaan dari satu kelompok pemegang saham terhadap kelompok pemegang saham lain. Perusahaan atau kelompok pemegang saham yang berinisiatif untuk mengambil alih disebut bidder dan perusahaan atau kelompok pemegang saham yang akan dijadikan objek pengambilalihan disebut target.
Alasan-alasan yang mendasari terjadinya pengambilalihan saham atau takeover adalah
Ø   Dapat memperbesar ukuran perusahaan, dengan bergabungnya perusahaan yang lebih mandiri ataupun lebih tinggi daya saingnya,maka perusahaan yang kecil sekalipun akan menjadi lebih besar dan dapat tertolong dari segi operasional pemasaran dan pemasukan.
Ø   Mengoptimalkan operasional manajerial, tanpa berpindah keindustri yang lain, maka sebuah perusahaan yang berada pada fase monoton ataupun sedang mundur akan rawan kehilangan para eksekutif muda yang potensial dan hal ini akan mempercepat kemunduran perusahaan. Namun,bila perusahaan tersebut segera menggabungkan diri dengan perusahaan maju lainnya, maka kemungkinan tersebut dapat segera terhindari.
Ø   Mengurani resiko,meminimalkan tekanan biaya financial dan menghindari kebangkrutan. Dengan penggabungan harta kekayaan maka likuiditas perusahaan meningkat, dan dengan berbagai keunggulan yang lebih kompetitif,perusahaan dapat menguasai pasar yang lebih luas.
Ø   Menghindari pengambilalihan secara paksa, dengan menggabungkan diri dengan perusahaan yang lain, maka aka nada peningkatan penguasaan pasar dan dapat meningkatkan kekebalan dari adanya kemungkinan terjadinya pengambilalihan secara paksa oleh perusahaan lain.
Sumber : Mustafa Kamal Rokan,S.Hi,M.H.,Hukum Persaingan Usaha (PT RajaGrafindo Persada : Jakarta 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar