Sabtu, 22 Oktober 2011

Kepailitan



PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Peraturan mengenai kepailitan di Indonesia saat ini dapat ditemukan dalam faillisements verordening stb 1905 No.217 jo stb 1906 No.348, merupakan hukum kepalititan lama yang merupakan produk perundang-undangan belanda yang mengatur materi tentang kepailitan secara lengkap, ketat dan mendetail seperti cirri khas perundang-undangan belanda, dalam mempelajari faillisements verordening, maka kesan pertama yang muncul bagi sebahagian orang adalah “keruwetan”, yang cukup rumit dan berbelit-belit. Karena itu, bagi sebahagian besar sarjana hukum Indonesia, bidang hukum kepailita ini kurang dikenal, tidak popular dan hampir diabaikan. Sejalan dengan perkembangan perdagangan yang semakin cepat,meningkat dan dalam skala yang lebih luas dan global, masalah utang piutang perusahan semakin rumit dan membutuhkan aturan hukum yang efektif. Akibatnya akademisi, pengacara dan berbagai kalangan mulai melirik kembali faillisements verordening. Kegiatan-kegiatan dalam bentuk seminar,lokakarya, dan penelitian yang khusus untuk membahas hukum kepailitan serta aspek hukum lain yang memiliki kaitan sangat erat dengan hukum kepailitan terutama dampaknya dari segi ekonomi mulai dilaksanakan.
            Perkembangan perekonomian global membutuhkan aturan hukum kepailitan yang mampu memenuhi kebutuhan hukum para pelaku bisnis dalam penyelesaian utang piutang mereka. Globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi, dalam arti substansi berbagai undang-undang dan perjanjian menyebar melewati batas-batas Negara.
Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan pemerintah. Dari sudut sejarah hukum, undang-undang kepailitan pada mulanya bertujuan untuk melindungi para kreditur dengan memberikan jalan yang jelas dan pasti untuk menyelesaikan utang yang tidak dapat dibayar.
Kepailitan dan penundaan atau pengunduran pembayaran utang (surseance) lazimnya dikaitkan dengan masalah utang piutang antara seseorang yang dapat disebut debitor dengan mereka yang mempunyai dana yang disebut kreditor. Dengan perkataan lain, antara debitor dan kreditor menjadi perjanjian utang piutang atau perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang tersebut,lahirlah suatu perikatan diantara para pihak. Dengan adanya perikatan maka masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban. Salah satu kewajiban dari debitor adalah mengembalikan utangnya sebagai suatu prestasi yang harus dilakukan. Apabila kewajiban mengembalikan utang tersebut berjalan lancar sesuai dengan perjanjian tentu tidak merupakan masalah, permasalahan akan timbul apabila debitor mengalami kesulitan untuk mengembalikan utangnya tersebut.
            Dalam makalah ini saya akan membahas tentang pengertian utang,untuk membahas dan memberikan pemahaman yang seragam mengenai permasalahan kepailitan, masih memperlihatkan adanya pandangan yang berbeda, yang seberapa jauh tetap mengartikan utang secara sangat sempit. Selain itu saya akan membahas mengenai pembatalan perjanjian, fungsi dan dasar hukum kepailitan serta peraturan-peraturan yang ada dalam kepailitan tersebut.

B.     Rumusan Masalah
1.      Pengertian Utang dan Dasar Hukum Kepailitan
2.      Fungsi hukum kepailitan
3.      Peraturan Kepailitan, syarat dan prosedur di pengadilan.  















PEMBAHASAN
A.    Pengertian Utang dan Dasar Hukum Kepailitan
Untuk memahami makna utang sebagaimana dinyatakan dalam rumusan pasal 1 ayat (1) undang-undang kepailitan yang berbunyi :
“debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor  dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya.”
Maka kita harus kembali pada ketentuan pasal 1131 dan pasal 1132 Kitab undang-undang Hukum Perdata yang menjadi sumber keberadaan undang-undang kepailitan ini. Secara lengkapnya kedua pasal tersebut berbunyi sebagai berikut :
Pasal 1131
“segala kebendaan debitor, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan.”
Pasal 1132
“kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya.pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para kreditor itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan.”
            Dari rumusan pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut diatas dapat diketahui bahwa pada prinsipnya setiap individu dalam masyarakat memiliki harta kekayaan, yang pada sisi positif disebut dengan kebendaan, dan pada sisi negative disebut dengan perikatan. Kebendaan yang dimiliki oleh individu tersebut akan dipergunakan untuk memenuhi setiap perikatannya, yang merupakan kewajiban dalam lapangan harta kekayaan dari individu tersebut.[1]
            Suatu perikatan, sekurangnya membawa serta didalamnya empat unsure, yaitu :
1.      Bahwa perikatan itu adalah suatu hubungan hukum
2.      Hubungan hukum tersebut melibatkan dua atau lebih orang (pihak)
3.      Hubungan hukum tersebut adalah hubungan hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan
4.      Hubungan hukum tersebut melahirkan dan atau merupakn kewajiban pada salah satu pihak dalam perikatan
Sebagai suatu bentuk hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan, perikatan melibatkan dua orang atau lebih, yang merupakan para pihak dalam perikatan. Pihak-pihak dalam perikatan tersebut, sekurangnya terdiri dari dua pihak, yaitu pihak yang berkewajiban pada satu sisi, (yaitu debitur) dan pihak yang berhak atas pemenuhan kewajiban tersebut pada sisi lain(yaitu kreditur). Tidak mungkin lahir suatu perikatan yang hanya terdiri dari satu pihak saja, meskipun dalam pihak tersebut terdapat lebih dari satu orang. Hal ini adalah konsekuensi logis dari sifat perikatan itu sendiri yang melahirkan kewajiban pada salah satu pihak dalam perikatan. Kewajiban pada satu pihak, meskipun tidak disebutkan secara langsung dalam sebagian besar ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, secara umum akan melahirkan atau menciptakan hak pada pihak lain yang berhak atas pemenuhan kewajiban tersebut.[2]
Suatu perusahaan dikatakan pailit atau istilah populernya adalah bangkrut manakala perusahaan (atau orang pribadi) tersebut tidak sanggup atau tidak mau membayar hutang-hutangnya. Oleh karena itu, daripada pihak kreditur ramai-ramai mengkroyok debitur dan saling berebutan harta debitur tersebut,hukum memandang perlu mengaturnya, sehingga hutang-hutang debitur dapat dibayar secara tertib dan adil.[3]
Dengan demikian, yang dimaksud dengan kepailitan adalah suatu sitaan umum yang dijatuhkan oleh pengadilan khusus, dengan permohonan khusus, atas seluruh asset debitur (badan hukum atau orang pribadi) yang mempunyai lebih dari satu jutang/kreditur dimana debitur dalam keadaan berhenti membayar hutang-hutangnya, sehingga debitur segera segera membayar hutang-hutangnya tersebut.[4]
Sedangkan pengertian kepailitan oleh ISDA (international Swaps and Derivaties Association) adalah terjadinya salah satu kejadian-kejadian berikut ini :
1.      Perusahaan yang mengeluarkan surat hutang berhenti beroperasi (pailit)
2.      Perusahaan tidak solvent atau tidak mampu membayar hutang
3.      Timbulnya tuntutan kepailitan
4.      Proses kepailitan sedang terjadinya
5.      Telah ditunjuknya receivership
6.      Dititipkannya seluruh asset kepada pihak ketiga.[5]
Setelah keluarnya UU No.37 Tahun 2004, pengertian Pailit dijumpai dalam pasal 1 angka 1 yang menyebutkan :
“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh curator dibawah pengawasan hakim pengawasan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
UU no.37 tahun 2004 juga memberikan pengertian tentang kreditor,debitor dan debitor pailit. Pasal 1 angka 2 menyebutkan bahwa :
“kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih dimuka pengadilan.”
Pasal 1 angka 3 menyebutkan bahwa :
“debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.”
Pasal 1 angka 4 menyebutkan bahwa :
Debitor pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan.[6]

B.     Fungsi Hukum Kepailitan
Hukum pada dasarnya berfungsi untuk melindungi kepentingan manusia. Hal itu disebabkan dalam setiap kehidupan dan setiap hubungan hukum, para pihak yang terkait mempunyai kepentingannya masing-masing.kepentingan dimaksud adakalanya bersamaan, berbeda atau bahkan bertentangan. Dalam hal kepentingan tersebut bersamaan barangkali tidak akan menimbulkan masalah dalam kehidupan atau hubungan hukum tersebut. Demikian pula dalam hal kepentingannya berbeda, tetapi tidak dipertentangkan atau tidak dipersoalkan. Disinilah hukum akan berperan untuk melindungi kepentingan para pihak tersebut sehingga tidak terjadi pihak yang satu dirugikan dan pihak yang lain diuntungkan.
Daam hubungan dengan peraturan perundangan-undangan kepailitan, peraturan dimaksud juga berfungsi untuk melindungi kepentingan pihak-pihak terkait dalam hal ini kreditor dan debitor, atau juga masyarakat. Mengenai hal ini,penjelasan umum UUKPKPU (Undang-Undang Kepailitan  dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) menyebutkan beberapa factor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Factor-faktor dimaksud yaitu :[7]
1.      Untuk menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor yang menagih piutangnya dari debitor.
2.      Untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor lainnya.
3.      Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan salah seorang kreditor atau debitor sendiri. Misalnya, debitor berusaha untuk memberikan keuntungan kepada seorang atau beberapa orang kreditor tertentu sehingga kreditor lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari debitor untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap kreditor.

Memperhatikan penjelasan diatas diketahui bahwasanya UUKPKPU berfungsi melindungi kepentingan debitor maupun kreditor, perlindungan yag diberikan harus seimbang, tidak terlalu berat sebelah baik pada debitor maupun kreditor. Untuk itu diperlukan keseimbangan, dalam UUKPKPU ada beberapa asas, yaitu :
a.       Asas keseimbangan
b.      Asas kelangsungan usaha, memberikan kesempatan debitor untuk melanjutkan usahanya
c.       Asas keadilan, keadilan ini adalah untuk terpenuhinya keadilan antara dua pihak yang berkepentingan
d.      Asas integrasi, asas ini berisikan bahwa UUKPKPU adalah merupakan kesatuan, yaitu hukum material dan hukum formal (hukum acara) perdata dan hukum acara perdata nasional



C.     Peraturan Kepailitan, syarat dan prosedur di pengadilan
Para Pihak yang dapat mengajukan kepailitan yaitu:
  1. atas permohonan debitur sendiri
  2. atas permintaan seorang atau lebih kreditur
  3. oleh kejaksaan atas kepentingan umum
  4. Bank Indonesia dalam hal debitur merupakan lembaga bank
  5. oleh Badan Pengawas Pasar Modal dalam hal debitur merupakan perusahaan efek.
Mengenai syarat untuk dapat dinyatakan pailit, pasal 2 ayat (1) UUKPKPU menyebutkan bahwa debitor yang mempunyai 2 atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Memperhatikan ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa syarat untuk dapat dinyatakan seseorang itu pailit melalui putusan pengadilan adalah :[8]
a.       terdapatnya minimal 2 kreditor
b.      debitor tidak membayar lunas sedikitnya 1 utang.
c.       Utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
Pernyataan pailit, mengakibatkan debitur demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak pernyataan putusan kepailitan. Dengan ditiadakannya hak debitur secara hukum untuk mengurus kekayaannya, maka oleh Undang-Undang Kepailitan ditetapkan bahwa terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan, kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan atau pemberesan atas harta pailit, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Kurator tersebut ditunjuk bersamaan dengan Hakim Pengawas pada saat putusan pernyataan pailit dibacakan.
Dengan demikian jelaslah, bahwa akibat hukum bagi debitur setelah dinyatakan pailit adalah bahwa ia tidak boleh lagi mengurus harta kekayaannya yang dinyatakan pailit, dan selanjutnya yang akan mengurus harta kekayaan atau perusahaan debitur pailit tersebut adalah Kurator. Untuk menjaga dan mengawasi tugas seorang kurator, pengadilan menunjuk seorang hakim pengawas, yang mengawasi perjalan proses kepailitan (pengurusan dan pemberesan harta pailit).
Langkah-langkah yang ada dalam kepailitan ada 9 langkah, yaitu :
  1. Permohonan pailit, syarat permohonan pailit telah diatur dalam UU No. 4 Tahun 1998, Surat Permohonan berisikan antara lain :
a.       Nama, tempat kedudukan perusahaan yang dimohonkan
b.      Nama, tempat kedudukan pengurus perusahaan atau direktur perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas.
c.       Nama, tempat kedudukan para kreditor
d.      Jumlah keseluruhan hutang
e.       Alasan permohonan.[9]
  1. Keputusan pailit berkekuatan tetap, jangka waktu permohonan pailit sampai sampai keputusan pailit berkekuatan tetap adalah 90 hari.
  2. Rapat verifikasi, adalah rapat pendaftaran utang-piutang, pada langkah ini dilakukan pendataan berapa jumlah utang dan piutangyang dimiliki oleh debitur. Verifikasi utang merupakan tahap yang paling penting dalam kepailitan karena akan ditentukan urutan pertimbangan hak dari masing-masing kreditur. Rapat verifikasi dipimpin oleh hakim pengawas dan dihadiri oleh : (a) Panitera (sebagai pencatat), (b) Debitur (tidak boleh diwakilkan karena nanti debitur harus menjelaskan kalau nanti terjadi perbedaan pendapat tentang jumlah tagihan, (c) Kreditur atau kuasanya (jika berhalangan untuk hadir tidak apa-apa, nantinya mengikuti hasil rapat), (d) Kurator (harus hadir karena merupakan pengelola aset).
  3. Perdamaian, jika perdamaian diterima maka proses kepailitan berakhir, jika tidak maka akan dilanjutkan ke proses selanjutnya. Proses perdamaian selalu diupayakan dan diagendakan. Ada beberapa perbedaan antara perdamaian yang terjadi dalam proses kepailitan dengan perdamaian yang biasa. Perdamaian dalam proses kepailitan meliputi : (a) mengikat semua kreditur kecuali kreditur separatis, karena kreditur separatis telah dijamin tersendiri dengan benda jaminan yang terpisah dengan harta pailit umumnya. (b) terikat formalitas, (c) ratifikasi dalam sidang homologasi, (d) jika pengadilan niaga menolak adanya hukum kasasi, (e) ada kekuatan eksekutorial, apa yang tertera dalam perdamaian, pelaksanaanya dapat dilakukan secara paksa. Tahap-tahap dalam proses perdamaian antara lain : (a) pengajuan usul perdamaian, (b) pengumuman usulan perdamaian, (c) rapat pengambilan keputusan, (d) sidang homologasi, (e) upaya hukum kasasi, (f) rehabilitasi.
  4. Homologasi akur, yaitu permintaan pengesahan oleh Pengadilan Niaga, jika proses perdamaian diterima.
  5. Insolvensi, yaitu suatu keadaan dimana debitur dinyatakan benar-benar tidak mampu membayar, atau dengan kata lain harta debitur lebih sedikit jumlahnya dengan hutangnya. Hal tentang insolvensi ini sangat menentukan nasib debitur, apakah akan ada eksekusi atau terjadi restrukturisasi hutang dengan damai. Saat terjadinya insolvensi (pasal 178 UUK) yaitu: (a) saat verifikasi tidak ditawarkan perdamaian, (b) penawaran perdamaian ditolak, (c) pengesahan perdamaian ditolak oleh hakim. Dengan adanya insolvensi maka harta pailit segera dieksekusi dan dibagi kepada para kreditur.
  6. Pemberesan/likuidasi, yaitu ppenjualan harta kekayaan debitur pailit, yang dibagikan kepad kreditur konkuren, setelah dikurangi biaya-biaya.
  7. Rehabilitasi, yaitu suatu usaha pemulihan nama baik kreditur, akan tetapi dengan catatan jika proses perdamaian diterima, karena jika perdamaian ditolak maka rehabilitasi tidak ada. Syarat rehabilitsi adalah : telah terjadi perdamaian, telah terjadi pembayaran utang secara penuh.
  8. Kepailitan berakhir.








KESIMPULAN   
Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan pemerintah.
Dari sudut sejarah hukum, undang-undang kepailitan pada mulanya bertujuan untuk melindungi para kreditur dengan memberikan jalan yang jelas dan pasti untuk menyelesaikan utang yang tidak dapat dibayar.
Tujuan utama kepailitan adalah untuk melakukan pembagian antara para kreditur atas kekayaan debitur oleh kurator. Kepailitan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah oleh kreditur dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga kekayaan debitur dapat dibagikan kepada semua kreditur sesuai dengan hak masing-masing.
akibat hukum yang utama dengan telah dijatuhkannya putusan kepailitan, si debitur (si pailit) kehilangan hak untuk melakukan pengurusan dan penguasaan harta benda tersebut beralih ke tangan curator/balai harta peninggalan.












DAFTAR PUSTAKA

Asyhadie,Zaeni.,Hukum Bisnis.,Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada 2008
Fuady,Munir.,Pengantar Hukum Bisnis.,Bandung : PT Citra Aditya Bakti 2005
Kartini, Pedoman Memenangkan Kepailitan
Sastrawidjaja ,Man S,Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.Bandung,.PT .Alumni 2006
Sunarmi,Hukum Kepailitan.,Jakarta : PT Sofmedia 2010


[1] Kartini dkk.,Pedoman Memenangkan Kepailitan.,hal.5-6
[2] Ibid hal.7
[3] Dr. Munir Fuady,S.H.,M.H.,LL.M.,Pengantar Hukum Bisnis (Bandung : PT Citra Aditya Bakti 2005) hal.75
[4] Ibid
[5] Prof.Dr.Sunarmi,S.H.,M.Hum.,Hukum Kepailitan.,(Jakarta : PT Sofmedia 2010) hal.24
[6][6] Ibid 28-29
[7] Prof.Dr.H.Man S.Sastrawidjaja,S.H.,S.U.,Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.,(Bandung : PT .Alumni 2006) hal.72
[8]  Ibid hal. 88-89
[9] Zaeni Asyhadie.,SH.,M.Hum.,Hukum Bisnis.,(Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada 2008) hal.233

Tidak ada komentar:

Posting Komentar